Fauvisme Dalam Konteks Sosial dan Budaya

Bayangkan awal tahun 1900-an di Prancis, khususnya di Paris. Ini adalah masa yang sangat dinamis dan penuh perubahan, bukan hanya di seni, tapi di segala aspek kehidupan.

1. Perubahan Besar di Masyarakat (Revolusi Industri Lanjut & Kemajuan Teknologi)

  • Dunia Berubah Cepat: Abad ke-19 ditandai oleh Revolusi Industri. Di awal abad ke-20, dampaknya semakin terasa. Ada pabrik-pabrik, kereta api, listrik mulai menyebar, dan penemuan-penemuan baru bermunculan (seperti mobil, pesawat terbang, bahkan film!).
  • Kehidupan Kota yang Sibuk: Banyak orang pindah ke kota-kota besar seperti Paris untuk mencari pekerjaan. Kota jadi padat, ramai, dan serba cepat. Cara hidup tradisional mulai bergeser.
  • Perasaan Baru: Dengan semua perubahan ini, orang-orang mulai merasa ada sesuatu yang baru di udara. Ada optimisme, tapi juga kegelisahan tentang masa depan yang tidak pasti. Seniman juga merasakan perubahan ini. Mereka tidak lagi ingin melukis dunia dengan cara yang sama seperti kakek-nenek mereka.

2. "Bosan" dengan Aturan Lama dan Realisme

  • Seni Klasik yang Kaku: Selama berabad-abad, seni di Eropa didominasi oleh aliran Klasik dan Akademik. Aturannya ketat: lukisan harus realistis, detail, dan seringkali mengangkat tema sejarah, mitologi, atau agama dengan cara yang "serius". Warna harus sesuai kenyataan, komposisi harus seimbang dan harmonis.
  • Impresionisme Sudah Melonggarkan Aturan, Tapi Belum Cukup: Seperti yang kita bahas, Impresionisme sudah membawa angin segar dengan fokus pada cahaya dan kesan. Tapi bagi sebagian seniman muda, itu belum cukup "bebas". Warna daun harus tetap hijau, warna langit harus tetap biru, meskipun dengan sapuan kuas yang lebih longgar. Para seniman muda ini merasa terbelenggu.

3. Keinginan untuk Berekspresi Bebas (Emosi Lebih Penting!)

  • Pencarian Jati Diri: Di tengah hiruk-pikuk perubahan, ada dorongan kuat bagi individu untuk menemukan dan mengungkapkan jati diri mereka. Hal ini juga merambat ke dunia seni. Seniman tidak lagi ingin hanya menjadi "juru rekam" kenyataan.
  • Reaksi terhadap Formalitas: Mereka merasa aturan seni yang ada terlalu formal dan tidak memberikan ruang untuk perasaan batin. Mereka ingin lukisan bisa "berteriak" atau "tersenyum" sesuai emosi mereka, bukan sekadar menggambarkan apa yang ada di depan mata.
  • Warna sebagai Bahasa Emosi: Nah, di sinilah Fauvisme masuk. Mereka menemukan bahwa warna adalah alat yang paling ampuh untuk mengungkapkan emosi dan perasaan tanpa harus terpaku pada kenyataan. Mengapa harus melukis wajah seseorang dengan warna kulit aslinya jika saya bisa melukisnya dengan hijau, kuning, atau biru untuk menunjukkan perasaan tertentu tentang orang itu? Ini adalah gagasan yang sangat radikal saat itu.

4. Pengaruh dari Seni Non-Barat

  • Membuka Mata ke Dunia Lain: Di masa itu, banyak seniman dan kolektor mulai tertarik pada seni dari Afrika, Asia, dan Oseania (Pulau-pulau Pasifik). Seni-seni ini seringkali memiliki bentuk yang disederhanakan, warna-warna yang kuat, dan tidak terlalu peduli dengan realisme seperti seni Barat.
  • Inspirasi untuk Kesederhanaan dan Kekuatan: Para seniman Fauvis, seperti Matisse, melihat kekuatan ekspresif pada topeng-topeng Afrika atau patung-patung non-Barat. Ini memberi mereka keberanian untuk menyederhanakan bentuk dan menggunakan warna secara lebih primitif dan kuat.

Kesimpulannya: Semangat Kebebasan

Secara ringkas, Fauvisme muncul karena adanya semangat kebebasan dan keinginan untuk berekspresi secara personal di tengah masyarakat yang sedang mengalami perubahan besar. Seniman Fauvis ingin membebaskan seni dari "penjara" realisme dan aturan kaku, menggunakan warna sebagai alat utama untuk menyampaikan emosi dan interpretasi pribadi mereka tentang dunia. Mereka berani tampil beda, dan itulah mengapa mereka dijuluki "binatang buas".

Share:

Tidak ada komentar:

Total Tayangan Halaman

+ Follow
Join on this site

with Google Friend Connect

Popular Posts

Arsip Blog